Hak Asasi Manusia atau yang biasa kita sebut HAM adalah hak-hak yang melindungi semua orang, mulai dari anak-anak, orang dewasa, orang miskin maupun kaya, perempuan atau laki-laki, pelajar, kelompok agama ( Islam, Kristen, Budha, Hindu, dll ), orang disabilitas, tentara bahkan tahanan penjara. Ada juga yang menyatakan bahwa Hak Asasi Manusia ( HAM ) adalah hak-hak yang dimiliki setiap manusia sejak lahir atau dalam kandungan.
Hak-hak yang dimiliki manusia diantaranya, Hak untuk hidup, Hak beragama, Hak bebas berkarya, dan masih banyak lagi. Jika tidak ada Hak Asasi Manusia di dunia ini sudah pasti kehidupan bermasyarakat tidak akan aman dan tentram. Masyarakat akan bebas melakukan apapun tanpa adanya aturan yang akan menyebabkan kekacauan ( chaos ).
Hak Asasi Manusia tentu juga diberlakukan di Indonesia. Seperti yang telah diatur oleh Undang-Undang pasal 28I ayat 1 yang berbunyi :
“ Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”
Jika hak-hak tersebut tidak terlaksana dengan baik maka akan terjadi Pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM adalah pelanggaran dalam nilai-nilai keadilan dan kesetaran di masyarakat. Pelanggaran HAM di Indonesia diatur oleh Undang-Undang No.39 tahun 1999 yang berbunyi:
“ Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat Negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum, mengurangi, menghalangi, membatasi dan mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini dan tidak mendapat atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. “
Pelanggaran HAM pun kerap terjadi di Indonesia. Seperti kasus Hak Pejalan Kaki. Hak Pejalan Kaki juga diatur dalam Undang – Undang no 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, khususnya pada pasal 131, yaitu:
1. Pejalan kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung berupa trotoar, tempat penyeberangan dan fasilitas lain.
2. Pejalan kaki berhak mendapatkan prioritas pada saat menyeberang jalan di tempat penyeberangan.
3. Dalam hal belum tersedia fasilitas sebagaimana dimaksud diatas pejalan kaki berhak menyeberang di tempat yang dipilih dengan memperhatikan dirinya.
Namun, hak-hak pejalan kaki tersebut kerap dilanggar oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Terutama oleh kendaraan bermotor. Banyak kita jumpai atau kita lihat di daerah Jakarta, jika jalan utama terhambat oleh kemacetan yang sangat parah, kendaraan bermotor yang tidak sabar dengan kemacetan kerap terlihat menggunakan trotoar untuk jalan alternatif mereka. Yang sudah pasti mengganggu pejalan kaki yang sedang menggunakan trotoar tersebut. Jalan mereka menjadi sangat sempit dan tentu membahayakan keselamatan pejalan kaki.
Tidak hanya trotoar saja, tempat penyebrangan jalan atau zebra cross pun sering dipakai oleh para pengendara motor atau mobil untuk berhenti pada saat lampu merah. Padahal, sudah terlihat jelas batas Antara zebra cross dan tempat pemberhentian kendaraan.
Jika kita lihat, banyak aktivis-aktivis atau orang-orang yang peduli pada hak pejalan kaki yang kerap menjadikan diri mereka sebagai penghalang kendaraan bermotor yang hendak menggunakan trotoar sebagai jalur alternatifnya.
Dalam kasus ini tidak hanya kendaraan bermotor saja yang melanggar hak pejalan kaki. Pedagang kaki lima pun juga termasuk didalamnya. Mereka kerap terlihat bejualan di pinggir trotoar yang kadang sudah terpampang jelas “DILARANG BEJUALAN DI SEKITAR LOKASI INI”
Mereka berfikir bahwa jika mereka berjualan di daerah trotoar yang banyak dilalui oleh pejalan kaki otomatis sebagian pejalan kaki akan membeli dagangan mereka. Terutama pada saat jam makan siang atau jam pulang kantor yang biasanya pejalan kaki menunggu angkutan umum mereka.
Jika kita memang sehari-hari menggunakan trotoar sebagai fasilitas umum, pasti kita akan merasa terganggu dengan para pedang kaki lima. Seperti, sampah yang berserakan di pinggir-pinggir trotoar karena bekas dagangan mereka, gerobaknya yang mengahalangi separuh jalan trotoar yang otomatis mengurangi tempat berjalan, dan masih banyak lagi.
Jika, para pedangan mau menaati peraturan yang ada mungkin mereka bisa berjualan di daerah yang sudah ditentukan seperti food court, berjualan keliling komplek, berkeliling kampung atau tempat-tempat legal untuk berjualan lainnya. Yang tentu saja tidak akan merugikan mereka.
Kemudian, jika kita sedikit bergeser ke daerah pasar atau warung makan yang berlokasi di pinggir jalan, pasti trotoar dipakai untuk tempat parkir dadakan. Tentu saja, hal ini juga mengganggu hak pejalan kaki. Jalan mereka menjadi sempit dan kadang pejalan kaki harus berjalan dibawah trotoar karena trotoar tersebut sudah penuh dengan motor-motor yang sedang parkir.
Kita juga jangan melupakan hak orang-orang penyandang cacat atau difabel. Banyak trotoar yang kita jumpai di kota-kota besar masih belum di lengkapi guiding block dan trotoar granit. Tentunya, hal-hal tersebut sangat mempengaruhi kenyaman para difabel yang menggunakan trotoar tersebut.
Sangat disayangkan memang. Akibat dari pengendara motor, jalan trotoar menjadi rusak, berlubang dan menjadi tidak layak pakai. Akibat dari pedagang kaki lima, jalan trotoar menjadi kotor dan banyak sampah.
Ketegasan dan perhatian dari pihak berwenang memang masih dibutuhkan untuk menjamin hak pengguna jalan. Namun, ada baiknya jika setiap pengguna jalan mulai menumbuhkan kesadaran mengenai kewajiban dan hak mereka dalam berlalu lintas.
Hargailah jika ingin dihargai.
Hormatilah jika ingin dihormati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar